Mengenang Paus St. Yohanes XXIII... Berikut 12 Fakta Menarik tentang Paus yang Berjuluk "Il Papa Buono" Ini

Pada 3 Juni 1963, tepat 58 tahun yang lalu, Paus St. Yohanes XXIII berpulang ke Rumah Bapa setelah ia, tanpa diduga banyak pihak, menggebrak Gereja dan melaksanakan Konsili Vatikan II yang mengubah wajah Gereja pada dunia..


Mari mengenang beliau yang dikenal dengan julukan Paus Yohanes XXIII "Yang Baik" (Il Papa Buono atau The Good Pope) dengan melihat 12 fakta menarik tentang beliau... 

Fakta ke-10, 11, dan 12 mungkin agak mengejutkan dan kurang didengar..


1. Bangga Terlahir dan Wafat dalam Kemiskinan

Terlahir dengan nama Angelo Giuseppe Roncalli pada 25 November 1881, sebagai anak keempat dan anak laki-laki pertama dari 13 (tiga belas) bersaudara dalam keluarga petani bagi hasil di sebuah desa kecil bernama Sotto il Monte, dekat Bergamo, di Italia Utara. Meski lahir dalam kondisi yang miskin, beliau sangat menghindari jebakan posisinya, dan menolak untuk memanfaatkannya baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. 

Dalam wasiat terakhirnya, Paus St. Yohanes XXIII menulis: 

"[Meski] Terlahir miskin, tetapi dari orang-orang yang rendah hati dan terhormat, saya sangat senang mati [dalam kondisi] miskin..."

"Saya bersyukur kepada Tuhan atas anugerah kemiskinan yang dapat saya ucapkan dalam sumpah setia di masa muda saya... yang telah memperkuat saya dalam tekad saya untuk tidak pernah meminta apa pun —posisi, uang atau bantuan— tidak pernah baik untuk diri saya sendiri atau untuk hubungan saya dan teman."

Beliau meninggalkan "harta" pribadinya kepada anggota keluarganya yang masih hidup —mereka masing-masing menerima kurang dari $20.


2. Pernah Menjadi Anggota Ordo Ketiga Fransiskan dan Presiden Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman untuk Italia

Usai menerima Komuni Pertama dan Sakramen Krisma pada usia 8 tahun (1889), di usianya yang ke-11, Roncalli remaja masuk seminari. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1 Maret 1896, Luigi Isacchi, Direktur Spiritual Seminarinya, mendaftarkannya ke dalam Ordo Fransiskan Sekular (OFS) yang merupakan ordo ketiga Fransiskan. Setahun kemudian, Roncalli mengucapkan kaulnya sebagai anggota ordo itu pada 23 Mei 1897.

Pada tahun 1904, Roncalli menyelesaikan gelar doktornya dalam hukum kanon dan ditahbiskan sebagai imam di Gereja Katolik Santa Maria di Monte Santo di Piazza del Popolo di Roma pada 10 Agustus tahun itu juga. Tak lama setelah itu, saat masih di Roma, Roncalli dibawa ke Basilika Santo Petrus untuk bertemu dengan Paus Pius X. 

Pada tahun 1905, Mgr. Giacomo Radini-Tedeschi, Uskup Bergamo yang baru, mengangkat Roncalli sebagai sekretarisnya. Pastor Roncalli bekerja untuk Mgr. Radini-Tedeschi sampai meninggalnya pada 22 Agustus 1914, dua hari setelah kematian Paus Pius X. Selama periode ini Pastor Roncalli juga menjadi dosen di seminari keuskupan di Bergamo.

Pada 6 November 1921, Pastor Roncalli melakukan perjalanan ke Roma di mana ia dijadwalkan untuk bertemu dengan Paus. Setelah pertemuan mereka, Paus Benediktus XV mengangkatnya sebagai Presiden Italia untuk Serikat Kepausan untuk Pengembangan Iman (di Indonesia kini kita kenal melalui Karya Kepausan Indonesia, SEKAMI, dan lain sebagainya). Roncalli akan mengingat Paus Benediktus XV sebagai Paus yang paling simpatik yang pernah dia temui.




3. Melayani di Masa Perang Dunia

Selama Perang Dunia Pertama, Roncalli berhenti dari pendidikan imamatnya untuk melayani sebagai petugas medis dan kemudian sebagai Pastor yang mendampingi anggota militer. Usai perang, sebagai Imam, ia memulai sebuah rumah pertama Italia bagi para pelajar muda yang miskin. Kehidupannya setelah perang mulai berubah secara dramatis, dan beliau dan karyanya bahkan mendapat perhatian Paus Pius XI.

Beliau kemudian menjadi Visitor Apostolik untuk Bulgaria (1925-1931), kemudian menjadi Delegatus Apostolik untuk Bulgaria (1931-1934), Delegatus Apostolik untuk Turki dan Yunani (1934-1944), Delegatus Apostolik untuk Prancis (1944-1953), dan kemudian diangkat oleh Paus Pius XII sebagai Kardinal dan Patriark Venesia (1953-1958), sebelum terpilih menjadi Paus dalam Konklaf pada 1958.


4. Menyelamatkan Orang-Orang Yahudi

Sebagai Delegatus Apostolik di Istanbul, Turki, selama Perang Dunia Kedua, Roncalli menggunakan hak diplomatiknya untuk membantu orang-orang Yahudi melarikan diri dari Holocaust dengan memberi mereka visa transit dan dokumen penting lainnya yang memungkinkan mereka meninggalkan Eropa.

Sebagai pengakuan atas usahanya, Yayasan Raoul Wallenberg Internasional telah mengajukan petisi kepada Yad Vashem, peringatan resmi untuk para korban Yahudi Holocaust, untuk menyebut Paus Yohanes XXIII sebagai salah satu "Orang-Orang yang Benar di Antara Bangsa-Bangsa" non-Yahudi yang secara resmi diakui karena mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan orang Yahudi.


5. Masa Pontifikatnya yang Mengubah Gereja

Beliau terpilih menjadi Paus pada 29 Oktober 1958 ketika hampir berusia 77 tahun. Penobatannya terjadi pada 4 November, tepat pada Pesta St. Carolus Borromeus, salah satu orang kudus yang diteladaninya. Peristiwa itu disiarkan di televisi di Eropa dan difilmkan pula untuk ditonton di bagian lain dunia.



Banyak yang menganggapnya hanya menjadi Paus transisi saja, tetapi beliau kemudian mengejutkan Gereja dan dunia dengan memanggil para Uskup untuk penyelenggaraan Konsili Vatikan II (1962-1965). 

Sebelum sesi pertama konsili, Paus St. Yohanes XXIII mengunjungi Assisi dan Loreto pada 4 Oktober 1962 untuk berdoa bagi konsili yang akan dilaksanakan serta untuk menandai Pesta St. Fransiskus dari Assisi.

Meskipun Paus St. Yohanes XXIII meninggal pada 3 Juni 1963, saat sesi pertama Konsili Vatikan II berakhir, Konsili Vatikan II —yang merevisi liturgi; mempromosikan ekumenisme, persatuan umat Kristen, dan menghormati agama-agama non-Kristen; mengakui peran penting kaum awam dalam Gereja; menyambut kemajuan modernitas dan mendorong Gereja untuk membaca “tanda-tanda zaman”; membela kebebasan beragama bagi semua pribadi manusia; menyerukan dialog dengan ateis; dan mendorong para ilmuwan untuk bekerja keras untuk menjelaskan lebih teliti berbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran yang tepat— adalah warisan beliau yang tak ternilai bagi Gereja.

Sebelumnya, pada malam usai penutupan sesi pertama Konsili Vatikan II, Paus St. Yohanes XXIII muncul di jendela dan menyampaikan pidato kepada umat di Lapangan St. Petrus. Beliau menyuruh mereka untuk kembali ke rumah dan memeluk anak-anak mereka, memberi tahu pada anak-anak mereka bahwa pelukan itu berasal dari Paus. Pidato ini kemudian dikenal sebagai 'Pidato Bulan' (Speech of the Moon).


6. Membuka Pintu dan Jendela Gereja bagi Dunia 

Di awal kepausannya, beliau menghapus bahasa yang menyinggung tentang "orang-orang Yahudi yang durhaka" dari liturgi Gereja, dan secara ekumenis menjangkau umat Kristen Protestan, Ortodoks, Islam, dan non-Kristen lainnya.

Sangat kontras dengan para pendahulunya, beliau mendesak Gereja untuk menerima modernitas dan dunia sekuler, alih-alih menempatkan Gereja untuk terus-menerus menentangnya. 

Paus St. Yohanes XXIII juga diberi julukan "John-Outside-the Walls" (Yohanes Luar Tembok), karena ia adalah Paus pertama yang meninggalkan batas-batas Vatikan untuk mengunjungi penjara dan rumah sakit. Beliau juga adalah adalah Paus pertama yang melakukan kunjungan resmi ke Presiden Republik Italia di Istana Quirinal.

Paus St. Yohanes XXIII berkunjung ke sebuah bangsal untuk anak-anak
di sebuah rumah sakit

Paus St. Yohanes XXIII berfoto di tengah-tengah para narapidana
ketika berkunjung ke sebuah penjara

Paus St. Yohanes XXIII berkunjung ke sebuah penjara


Selain itu, beliau juga memperluas keanggotaan Kolegium Kardinal dari hanya 70 orang sesuai aturan Paus Sixtus V pada 1586. Dalam beberapa konsistorinya yang mengangkat 52 kardinal, beliau juga menunjuk Kardinal Afrika pertama, Kardinal Jepang pertama, Kardinal Filipina pertama, dan Kardinal Venezuela pertama. Beliau pula yang mengangkat Mgr. Giovanni Battista Montini, Uskup Agung Milan ketika itu sebagai Kardinal. Y.U. Giovanni Battista Kardinal Montini kemudian terpilih dalam konklaf pada 1963 sebagai penerus Paus St. Yohanes XXIII sebagai Paus St. Paulus VI.


7. Menghormati Hak-Hak Pekerja

Paus St. Yohanes XXIII menerbitkan Ensiklik Mater et Magistra (1961) yang dengan tegas mempromosikan hak-hak ekonomi pekerja dan menempatkan tanggung jawab baru kepada negara untuk melindungi hak-hak tersebut.

Konon, ketika beliau menjadi Paus, beliau kaget melihat gaji yang diberikan kepada para pekerja, khususnya para awam, di lingkungan Tahta Suci. Beliau kemudian menaikkan gaji mereka. Hal ini sempat menuai kritik dari beberapa kardinal. Terhadap kritik itu, beliau menjawab kepada para kardinal, "Mereka memiliki banyak anak.. tidak seperti Anda.. semoga tidak ya.."

Akhirnya pada 20 Juli 1959, sebuah berita besar menghebohkan Vatikan. Paus memberikan kenaikan gaji kepada sekitar 5.000 pegawai awam dan klerus Takhta Suci. Bagi para pekerja awam, mereka mendapatkan kenaikan gaji sekitar 50% dari gaji awal mereka dengan tambahan pula berupa peningkatan nominal tunjangan keluarga untuk istri dan anak-anak yang juga naik tajam.


8. Menyelamatkan Dunia dari Bahaya Perang Nuklir

Dalam masa kepausannya yang diwarnai pula dengan Perang Dingin, sempat terjadi Krisis Misil di Kuba yang membahayakan dunia. 

Seruan publik dari Paus untuk perdamaian selama Krisis Misil Kuba tersebut memengaruhi Nikita Khrushchev, Pemimpin Uni Soviet, dan John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat yang beragama Katolik, dan membantu mengakhiri krisis yang hampir berujung pada perang nuklir yang mungkin saja menghancurkan bumi. 


9. Komitmennya pada Perdamaian Dunia

Menanggapi krisis tersebut, Paus St. Yohanes XXIII kemudian menulis Ensiklik Pacem in Terris (Damai di Bumi) pada 1963. Inilah ensiklik kepausan pertama yang ditujukan kepada “semua orang yang berkehendak baik” (bukan semua umat Katolik), dan ensiklik kepausan pertama yang diterbitkan di The New York Times

Paus St. Yohanes XXIII dan Pacem in Terris


Menurut kantor berita resmi Uni Soviet, masa pontifikat Paus St. Yohanes XXIII "ditandai dengan kegiatan yang bermanfaat demi mengkonsolidasikan perdamaian dan kerja sama damai di antara bangsa-bangsa."

Ensiklik ini pun merupakan dokumen resmi Gereja pertama yang mengakui bahwa kebebasan beragama adalah hak setiap pribadi manusia (dan bukan hanya umat Katolik). Ensiklik ini pun menginspirasi Konsili Vatikan II untuk menghasilkan Pernyataan tentang Kebebasan Beragama Dignitatis Humanae pada 7 Desember 1965. 

Damai seolah menjadi sesuatu yang lekat dengan figur beliau yang ternyata memiliki motto "Oboedientia et Pax" (Ketaatan dan Perdamaian). Hal ini seolah menjadi upaya beliau untuk mewujudkan kata-kata terakhir Mgr. Radini-Tedeschi, Uskup Bergamo yang beliau layani sebagai sekretaris hingga wafatnya, "Angelo, berdoalah untuk perdamaian". Kematian Mgr. Radini-Tedeschi memiliki efek mendalam pada hidup beliau.


10. Menyelamatkan Devosi Kerahiman Ilahi

Menurut kesaksian mantan sekretaris Paus St. Yohanes XXIII, Kardinal Loris Capovilla, di awal masa kepausan beliau, sebuah dekrit telah dirancang oleh Tahta Suci agar Paus menandatangani secara resmi untuk melarang umat Katolik membaca Buku Harian Sr. Maria Faustina Kowalska atau untuk menghormati gambar Kerahiman Ilahi. Tetapi Yohanes XXIII tidak menandatangani rancangan dekrit tersebut. 



Sebaliknya, beliau mengatakan bahwa sangatlah perlu untuk mendengar dari para Uskup Polandia. Oleh karena itu, beliau menandatangani sebuah dekrit sementara yang meminta agar devosi ini tidak boleh dipromosikan secara terbuka sampai Gereja memiliki waktu lebih lama untuk mempelajarinya. 

Studi itu terjadi ketika Karol Wojtyla menjadi Uskup Agung Krakow pada usia 45 tahun pada tahun 1965. Ia memiliki mantan guru dan penasihat disertasi doktoralnya yang kedua, Pastor Ignacy Rozycki, yang kemudian memeriksa tulisan-tulisan St. Faustina secara dogmatis dan menunjukkan konsistensinya dengan ajaran Gereja. 

Hal itu kemudian menuntun pada rehabilitasi total bagi St. Faustina pada tahun 1978, beberapa bulan sebelum Kardinal Karol Wojtyla terpilih sebagai Paus dengan mengambil nama Yohanes Paulus II. 

Demikianlah, Paus St. Yohanes XXIII telah membuka jalan bagi Paus St. Yohanes Paulus II untuk membantah para kritikus dan menyelamatkan Devosi Kerahiman Ilahi. Jika saja rancangan dekrit untuk melarang Devosi Kerahiman Ilahi ditanda tangani oleh beliau pada masa kepausannya, dunia tidak akan mengenal Devosi Kerahiman Ilahi.


11. "Bukan Paus Yohanes XXIII yang pertama"

Ya, benar. Dalam sejarah, sebelumnya sempat ada seorang Paus yang menggunakan nama kepausan "Yohanes XXIII". Nama itu digunakan oleh Kardinal Baldassare Cossa, salah satu sosok yang berkonflik dan mengklaim takhta kepausan selama akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, ketika Gereja Katolik Roma terpecah belah oleh Skisma Barat. Perpecahan, yang berlangsung dari 1378 sampai 1418, menyebabkan Kardinal Cossa yang menjadi Paus Yohanes XXIII pada tahun 1410, tetapi dipaksa untuk turun takhta -- bersama Paus Gregorius XII dan Benediktus XIII -- lima tahun kemudian untuk menyelesaikan perpecahan.

Kini, oleh Gereja, hanya Paus Gregorius XII-lah yang dianggap sebagai satu-satunya Paus sejati dari periode itu. Sedangkan Benediktus XIII, Yohanes XXIII, dan pendahulunya, Alexander V, semuanya dianggap sebagai "Anti-Paus". 

Itulah sebabnya ketika Kardinal Roncalli terpilih dalam Konklaf pada 1958 dan memilih nama kepausan "Yohanes", beliau menjadi Paus Yohanes XXIII, dan bukan Paus Yohanes XXIV. Berikut penjelasan beliau tentang pemilihan nama "Yohanes" untuk nama kepausan beliau:

Saya memilih "Yohanes"... 

Nama yang manis bagi kami karena itu adalah nama ayah kami, dekat pula bagi saya karena itu adalah nama gereja paroki yang sederhana tempat saya dibaptis, nama khidmat katedral yang tak terhitung jumlahnya yang tersebar di seluruh dunia, termasuk basilika kita sendiri [St. Yohanes Lateran]. 

Dua puluh dua Yohanes dengan legitimasi tak terbantahkan telah [menjadi Paus], dan hampir semua memiliki kepausan singkat. 
Kami lebih suka menyembunyikan kecilnya nama kami di balik suksesi megah Paus Romawi ini.


12. Jasanya Bagi Gereja Indonesia

Paus St. Yohanes XXIII juga memiliki jasa yang besar bagi Gereja Indonesia, yakni dengan mendirikan Hierarki Gereja Katolik Indonesia melalui Dekrit Quod Christus Adorandus pada 3 Januari 1961. Melalui dekrit itulah, Hierarki Gereja Indonesia resmi berdiri dan mandiri. Melalui dekrit itu pula beberapa vikariat apostolik dan prefektur apostolik yang telah ada di Nusantara diangkat menjadi beberapa keuskupan agung dan keuskupan sufragan. 





Sekitar 37 tahun pasca wafatnya Paus St. Yohanes XXIII, Paus St. Yohanes Paulus II membeatifikasi beliau sebagai Beato pada 3 September 2000. dan belasan tahun kemudian, beliau berdua secara bersama-sama dikanonisasi oleh Paus Fransiskus sebagai Santo pada 27 April 2014.

Terima kasih banyak Paus St. Yohanes XXIII. Doakanlah Gereja Indonesia dan kami selalu yang masih berziarah di dunia ini. Amin.

(wlt)
 

Comments

Popular posts from this blog

Misteri 153 Ikan dalam Penampakan Yesus

Ternyata Ini Lho 7 Hal di Balik Hari Komunikasi Sedunia oleh Gereja!

Mengenal Pesta Stigmata St. Fransiskus Asisi yang Dirayakan Hari Ini