Minggu Laetare: Minggu Sukacita di tengah Kekhawatiran


Apa pentingnya hari Minggu?

YOUCAT 187:

Hari Minggu adalah pusat waktu bagi umat Kristen karena pada hari Minggu kita merayakan kebangkitan Kristus, dan setiap hari Minggu merupakan Paskah kecil. [1163-1167, 1193]

Jika Minggu diabaikan atau dihapuskan, hanya hari kerja saja yang tersisa. Manusia yang diciptakan untuk kebahagiaan diturunkan martabatnya menjadi kuda beban atau konsumen yang tidak peduli. Di bumi ini, kita harus belajar bagaimana cara merayakan hari Minggu secara benar. Jika tidak, kita tidak tahu apa yang harus dilakukan di surga karena surga adalah hari Minggu yang tidak ada habisnya.
Memaknai Arti dari Minggu Laetare

Kita memasuki Minggu Prapaskah IV yang sering disebut Minggu LAETARE(bdk. Minggu III Adven = Minggu GAUDETE). Minggu Laetare itu jatuh pada Minggu Prapaskah IV, dua minggu sebelum Paskah.

Dikatakan Laetarekarena kata pertama (incipit) dalam antifon pembukaan (introit)Perayaan Ekaristi Minggu Prapaskah IV berbunyi "Bersukacitalah!".. "Laetare!", artinya bersukacitalah. Bersukacita karena apa, karena Paskah sudah dekat!

Seruan untuk bersukacita dari Kitab Yesaya 66:10 yang digemakan dalam Antifon Pembukaan Perayaan Ekaristi MInggu Prapaskah IV lengkapnya adalah sebagai berikut:

“Bersukacitalah bersama Yerusalem, dan bersorak sorailah karenanya, hai semua para pencintanya. Bergiranglah riang ria bersama dia, 
kalian yang dulu berkabung karena-Nya.”
*
"Laetare, Ierusalem, et Conventum facite omnes qui diligites eam; Gaudete cum laetitia, qui di tristitia fuistis; ut exsultetis, et satiemini ab uberibus consolationis vestrae "


Laetare: Rose and Mothering Sunday

Hal yang menarik dalam Minggu Laetare adalah warna liturgi yang digunakan, yakni warna "rose". Sama halnya ketika Minggu Gaudete, Minggu Adven III. Warna Liturgi yang berubah dari ungu menjadi "rose" (merah muda) melambangkan pengharapan dan sukacita untuk mengantisipasi perayaan Paskah. Walaupun kita perlu mengingat bahwa saat ini masih bagian dari Masa Prapaskah.

Selain warna liturgi yang digunakan pada Minggu Prapaskah IV ini, termasuk warna kasula yang dikenakan Imam, atau Selebran Utama, pada Perayaan Ekaristi, lambang pengharapan dan sukacita dihadirkan pula dengan diizinkannya dekorasi bunga-bunga pada Altar sebagaimana diatur dalam Dokumen "Perayaan Paskah dan Persiapannya" berikut ini:

"Pada Minggu Prapaskah ke-4 (“Laetare”) dan pada Hari Raya dan Pesta orgel dan alat-alat musik lain dapat dimainkan dan altar dapat dihias dengan bunga-bunga. Pada Minggu ini dapat juga dipakai busana berwarna merah muda."
(Perayaan Paskah dan Persiapannya artikel 25)

Warna "rose" pada kasula yang dikenakan Selebran dalam Perayaan Ekaristi tentunya mengingatkan kita pada "bunga mawar". Tradisi menyebutkan bahwa Minggu Laetare juga dikenal dengan "Minggu Mawar" (Dominica de Rosa). Sebutan ini muncul karena pada zaman dahulu, umat Kristen pada hari ini saling memberi mawar. Demikianlah dari sini muncul istilah "Mawar Emas". 

Pada abad X lahirlah tradisi "Pemberkatan Mawar", di mana Bapa Suci, pada hari Minggu Prapaskah IV, berangkat dari Basilika  Santo Yohanes Lateran menuju Basilika Salib Suci Yerusalem, yang keduanya terletak di kota Roma.  Beliau membawa  mawar emas di tangan kirinya sebagai perlambang sukacita karena Paskah sudah semakin dekat. Tangan kanan Paus memberkati kerumunan umat. Setibanya di Basilika Salib Suci Bapa Suci menyerahkan mawar emas itu kepada kepala prefek kota Roma sebagai pengakuan atas segala pelayanannya. 

Tradisi ini kemudian berkembang dengan mempersembahkan "Mawar Emas" kepada pribadi-pribadi dan penguasa-penguasa yang memiliki hubungan baik dengan Takhta Suci, misalnya pangeran, kaisar, raja dan lain-lain.

Di zaman modern Paus biasanya menyerahkan simbol kasih sayang ini ke tempat-tempat peziarahan yang terkenal. Sebagai contoh, Tempat Peziarahan Bunda dari Fatima Portugal menerima menerima “Mawar Emas” dari Paus Paulus VI pada tahun 1965. Demikian pula Basilika Our Lady of Aparecida, Brasil, menerima “Mawar Emas” dari Paus Paulus VI pada tahun 1967 dan dari Paus Benediktus XVI pada tahun 2007.
Berkaitan dengan tradisi "Minggu Mawar" ini, satu hal yang dekat dengan kita tentu adalah "Rosario", kumpulan mawar yang kita persembahkan kepada Bunda Maria melalui doa-doa Rosario kita. Maka, mawar memang lekat dengan kemurnian, kesucian, ketaatan, kebaikan, kekudusan.


Selain dikenal sebagai Minggu Mawar, hari Minggu ini ternyata juga disebut MINGGU BUNDA. Ada tradisi memberikan bunga mawar (pink / merah) dan perhormatan kepada IBU masing-masing dan GEREJA sebagai Bunda yang melahirkan umat beriman. Tentu saja ada penghormatan kepada Maria sebagai Bunda Gereja. Selain itu ada pula tradisi ziarah dan berdoa ke gereja induk dari Keuskupan masing-masing yaitu KATEDRAL (Mater Ecclesia). Walaupun, di tahun ini tampaknya kita perlu menunda intensi untuk melakukan tradisi ziarah dan berdoa ke gereja induk dengan cara #beribadahdirumah.

Minggu Laetare: Mari Menanam Mawar Rohani Kita

Mencermati semangat sukacita dalam Minggu Laetare dan kekayaan-kekayaan tradisi Gereja tadi, lalu apa yang bisa lakukan ya untuk mengisi Minggu Laetare?

Ada satu tips sederhana yang bisa kita lakukan, yakni mulai dari sekarang, marilah kita juga dapat menanam "mawar rohani, mawar iman" kita, yaitu pengetahuan iman kita. 

Bagaimana caranya? Dalam sejarahnya, Masa Prapaskah adalah masa persiapan baptis bagi para katekumen, dan dalam rangkaian persiapan itu, dua minggu sebelum Paskah, artinya dua minggu sebelum pembaptisan, para katekumen (calon baptisan) akan diajarkan oleh Uskup tentang "rahasia" rumusan Doa "Bapa Kami". Dalam pengajaran itu, para calon baptisan diberi syarat, bahwa hanya akan dapat dibaptis apabila mereka sudah mengampuni semua orang yang pernah bersalah, yang telah menyakiti mereka yang akan dibaptis. Jadi, ada pelajaran Doa "Bapa Kami" dan praktik untuk mengampuni.

Mengapa rumusan Doa "Bapa Kami" yang diajarkan disebut "rahasia"? Karena dahulu rumusan Doa "Bapa Kami" dan "Aku Percaya" hanya diberikan kepada para katekumen saja dan baru diberikan selama masa persiapan pembaptisan yang sekarang kita kenal sebagai Masa Prapaskah.

Nah, maka, belajar dari tradisi Gereja itu, dua minggu sebelum Paskah ini, baik juga kita mempelajari kembali Doa Bapa Kami dan maknanya; mempelajari kembali "Aku Percaya" berikut makna-maknanya; termasuk pula mempelajari kembali simbol-simbol yang akan kita temui dalam Pekan Suci dan Paskah nanti, dan kekayaan makna di dalamnya, agar dalam perayaan-perayaan itu nanti, kita bisa menjadi "dia yang terlibat", berpartisipasi aktif, sadar, dan tahu apa yang kita rayakan, berikut dengan simbol-simbolnya. Misalnya dengan mencermati Dokumen "Perayaan Paskah dan Persiapannya"yang dikeluarkan oleh Tahta Suci.

Adalah kewajiban kita sebagai orang yang dibaptis untuk mengenal dan mendalami imannya. Mengenal dan mendalami iman bukanlah opsi, melainkan kewajiban, bagi setiap orang yang sudah dibaptis. Dengan begitu kita memberikan mawar kita kepada Bunda Gereja, sambil meneruskan laku tobat kita melalui pantang, puasa, amal kasih, dan doa-doa.

Selain itu, mengingat pula bahwa dahulu Masa Prapaskah adalah masa persiapan pembaptisan bagi para calon baptisan, maka untuk kita yang sudah dibaptis Minggu Laetare sungguh baik untuk kita gunakan dalam mengingatkan kita pada pembaptisan kita. Misalnya, mengingat Gereja dimana kita dibaptis dulu, atau melihat kembali album ketika kita dibaptis. 

Benang merahnya, momen Minggu Laetare menjadi momen yang bagus di tengah persiapan kita menyambut perayaan Paskah untuk mengenal kembali iman kita, mengenal kembali tempat kita dibaptis dulu, berkunjung lagi kepada ibu biologis kita, untuk melakukan napak tilas kehidupan iman kita secara rohani, me-"napak tilas"-i doa-doa yang selama ini terlanjur akrab, kebiasaan, sehingga kita lupa maknanya, termasuk doa-doa dan simbol-simbol untuk perayaan Pekan Suci yang akan dirayakan nanti.

Sukacita Antisipasi Perayaan Paskah

Kita memang selayaknya bersukacita karena kita telah melewati separuh Masa Prapaskah. Kita diharapkan telah mengalami perjumpaan dengan Allah melalui peristiwa dan upaya-upaya kita menyediakan diri untuk mendengarkan Sabda-Nya dalam berbagai refleksi yang kita jalani. Hal yang menjadi alasan mendasar kita bersuka cita dirumuskan dengan jelas dan lugas namun indah oleh St. Yohanes dalam Injilnya yang menyarikan pesan pokok Injilnya:

“Begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya” (Yohanes 3:16-17). Pertanyaannya apakah kita sungguh telah mengalami betapa Allah mengasihi kita secara pribadi. Karena tergerak oleh pengalaman kasih itulah, kita pun dimampukan membaharui diri bukan karena takut atau terpaksa, melainkan buah dari pengalaman kasih.

Ini bisa dikatakan seperti tiga murid menerima penampakan kemuliaan Yesus di Gunung Tabor. Yesus belum bangkit, tapi kita mencicipi kemuliaan Yesus sebelum bangkit itu. Demikian juga Laetare, kita mencicipi sukacita Paskah sementara kita masih menjalani Masa Prapaskah. Supaya apa? Supaya kita semangat! Karena dalam banyak hal momen-momen kritis itu adalah momen-momen menjelang final.

Sumber: 
Podcast Peziarah ft. YOUCAT Indonesia (verbatim oleh @willemturpijn) dan diperkaya dari Katedraljakarta.or.id, parokisantolukas.org, dan catholicculture.org (editor oleh @williamcahyawan)



Comments

Popular posts from this blog

Misteri 153 Ikan dalam Penampakan Yesus

Ternyata Ini Lho 7 Hal di Balik Hari Komunikasi Sedunia oleh Gereja!

Mengenal Pesta Stigmata St. Fransiskus Asisi yang Dirayakan Hari Ini