Mengenal Dies Cinerum dan Beberapa Istilah di Masa Prapaskah

Apakah itu Dies Cinerum? Adakah istilah-istilah lain dalam Gereja di Masa Prapaskah? Mari simak catatan kecil dari Peziarah berikut ini...




Dies Cinerum

Tentu kita mengenali dengan akrab perayaan liturgi Rabu Abu. Ya, pada perayaan liturgi Rabu Abu kita mengawali masa tobat kita, secara khusus masa puasa kita bersama seluruh Gereja selama 40 hari (lihat ulasan sebelumnya: "Ternyata Masa Puasa dan Masa Prapaskah Itu "Beda"! Cek Perhitungannya Yuk!"). Rabu Abu menjadi titik mula retret agung Gereja untuk menyongsong peristiwa mulia yang nantinya akan memuncak di Hari Raya Paskah.

Lalu, apakah "Dies Cinerum" itu? Secara harfiah, "Dies Cinerum" sendiri kurang lebih bermakna sebagai "Hari Abu". Maka, "Dies Cinerum" adalah penyebutan dalam bahasa Latin bagi Rabu Abu. Frasa "Dies Cinerum" amat memberikan penekanan makna harfiah dan spiritual dari fokus perayaan pada hari itu, yakni "abu". Telah menjadi tradisi berabad-abad bagi Gereja untuk menggunakan abu sebagai ungkapan rasa sesal dan tobat. Pada hari Rabu Abu, Gereja mengundang putra dan putrinya untuk menerima abu di kepala mereka, entah dengan cara ditaburkan di kepala, atau dioleskan di dahi dalam bentuk tanda salib. Mari kita mengenali lebih jauh tentang "Hari Abu", atau "Dies Cinerum", atau yang jamak kita kenal dengan "Rabu Abu".






Darimanakah tradisi penggunaan "abu" ini berasal? 
Mari kita lihat satu per satu.

(1) Akar Biblis
Jika kita mencermati dalam Kitab Suci, abu telah menjadi simbol biblis untuk mengungkapkan ketidakabadian, suasana perkabungan, tobat dan sesal, serta erat juga dengan simbol pembersihan atau penyucian. Tentang ketidakabadian, segera kita ingat bagaimana Allah berfirman kepada Adam dan Hawa setelah mereka memakan buah terlarang di Taman Eden, "sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." (lih. Kej 3:19). Atau dalam bahasa Latinnya: 

"Memento, homo, quia pulvis es, et in pulverem reverteris."
 

Berbicara tentang perkabungan, kita bisa melihatnya dalam peristiwa perkabungan Mordekhai (lih. Est 4:1 dan Est 4:16) dan peristiwa yang dikisahkan dalam Kitab 1 Makabe 3:47; 4:39. Selain itu, abu juga menjadi simbol rasa sedih. Misalnya, ketika Tamar diperkosa oleh saudara tirinya, dia menaburkan abu di kepalanya, merobek jubahnya, dan dengan wajah terkubur di tangannya pergi menangis (lih. 2 Sam 13:19).
 
Sedangkan simbolisasi rasa sesal dan tobat dapat kita lihat pada penyesalan bangsa Israel (Yos 6:7), ungkapan penyesalan Daud (lih. 2 Sam 12:16), ungkapan tobat dari pemazmur (lih. Mzm. 102:10), penyesalan Ayub (lih. Ayb 30:19; 42:6), pertobatan Niniwe (lih. Yun 3:6), seruan pertobatan Yeremia (Yer 6:26), dan pertobatan Daniel (lih. Dan 9:3). Yesus sendiri juga menyinggung soal penggunaan abu kepada kota-kota yang menolak untuk bertobat dari dosa-dosa mereka meskipun mereka telah menyaksikan mukjizat-mukjizat dan mendengar kabar gembira (lih. Mat 11:21 atau Luk 10:13).

Simbolisasi abu sebagai ungkapan penyucian atau pembersihan dapat kita temukan dalam beberapa bagian dalam Kitab Suci, misalnya dalam Kitab Bilangan 19:9 dan 19:17, serta dalam Surat kepada Orang Ibrani 9:13.

(2) Gereja Perdana
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340), sejarawan Gereja yang terkenal, menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Juga, dalam masa yang sama, bagi mereka yang diwajibkan untuk menyatakan tobat di hadapan umum, imam akan mengenakan abu ke kepala mereka setelah pengakuan. 

Dalam perkembangannya, abu dipergunakan untuk menandai permulaan masa tobat dan masa persiapan selama 40 hari (tidak termasuk hari Minggu) untuk menyambut Paskah. Tradisi Rabu Abu mulai diperkenalkan pada abad ketujuh sebagaimana yang tercatat dalam Memo Sakramen Gelasian (Gelasian Sacramentary). Kehadiran ritual perayaan Rabu Abu dikaitkan erat dengan Paus St. Gregorius I (590-604) (St. Gregorius Agung), yang salah satunya tampak dalam ritual perayaan “Rabu Abu” yang ditemukan pada edisi awal Gregorian Sacramentary yang diterbitkan sekitar abad kedelapan. Warisan tradisi ini ternyata terus dipelihara oleh Gereja. Hal ini tampak dari catatan bahwa sekitar tahun 1000, terdapat seorang imam Anglo-Saxon (wilayah Inggris sekarang), bernama Ælfric of Eynsham yang menyampaikan khotbahnya tentang praktik menaburkan abu di atas kepala sebagai awal Masa Prapaskah, sebagai tanda sesal, sesuai dengan akar biblis baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sejak abad ke-11, melalui Sinode Benevento 1091, kebiasaan praktik Rabu Abu menjadi praktik umum bagi Gereja universal.


Lalu, darimanakah abu yang kita terima pada Rabu Abu berasal?

Dalam liturgi kita sekarang, abu yang kita gunakan untuk perayaan Rabu Abu berasal dari daun-daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma tahun sebelumnya yang telah dibakar sebelum perayaan Rabu Abu. Biasanya pembakaran daun palma ini akan dilakukan dengan ibadat. 




Ketika perayaan Rabu Abu, sebelum menaburkan abu atau mengoleskannya di dahi umat, Imam akan memberkati abu tersebut dengan air suci. Seruan yang diucapkan ketika prosesi pemberian abu kepada umat adalah “Ingat, engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu!”, atau “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Rumusan pertama berakar pada Kitab Kejadian dan dianjurkan penggunaannya sejak Paus Gregorius I. Sedangkan rumusan kedua merupakan hasil revisi Ritus Romawi 1969 berdasarkan Injil Markus 1:15. Rumusan kedua agaknya lebih umum digunakan, ketimbang rumusan pertama.

Perlu diingat, abu yang telah diberkati menjadi benda sakramental. Maka, abu yang dihasilkan dalam pembakaran daun palma dengan ibadat, atau abu yang berlebih dari perayaan Rabu Abu hendaknya diperlakukan secara hormat dan tak boleh dibuang sembarangan karena telah diberkati. Jika berlebih, abu tersebut dapat dibuang ke Sumur Suci (Sacrarium) atau jika tidak ada Sacrarium, abu itu dapat dikubur di tanah sehingga menyatu dengan alam kembali.


Mengapa menggunakan abu dari hasil pembakaran daun palma?

Pertama-tama mari kita lihat kembali simbol dari daun palma. Daun palma sejak zaman dahulu erat dengan simbol kemenangan atau kejayaan. Dalam prosesi kemenangan tradisional orang Yahudi maupun Romawi, para peserta prosesi itu memegang daun palma dan melambai-lambaikannya, tanda gembira atas kemenangan. Ketika memasuki Yerusalem guna melaksanakan karya keselamatan Allah dengan menderita dan wafat di salib, Yesus disambut sebagai pemenang; Banyak orang memotong ranting pohon dan menyebarkannya di jalan. Dalam kitab Mazmur 92:12-13, daun palma itu lambang keadilan dan kebenaran. Sedangkan dalam Wahyu 7:9, daun palma menjadi lambang kemenangan Anak Domba Allah. Para martir pun biasanya digambarkan memegang daun palma. Maka sejak Gereja perdana, daun palma itu dipandang sebagai simbol kemenangan Kristus, yang memasuki Yerusalem surgawi secara mulia.

Dari alasan itulah daun palma digunakan untuk menjadi abu yang digunakan dalam Rabu Abu. Harapannya, dengan mengenakan abu hasil pembakaran daun palma yang adalah simbol kemenangan Kristus, kita pun dapat turut serta dalam kemenangan Kristus dan meraih kemenangan yang sama setelah dimurnikan oleh Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus. Kejayaan Kristus hanya dapat dicapai bagi umat yang bertobat, yang rela menerima abu sisa-sisa pembakaran daun palma yang sudah diberkati, sebagai simbol kerelaannya untuk bertobat, memperbaharui, menyucikan, membersihkan, dan mengubah dirinya yang lama untuk menjadi baru di dalam Kristus yang bangkit dengan jaya.





Lalu mengapa pemberian abu selalu dirayakan pada hari Rabu?

Hal ini erat kaitannya dengan perhitungan Hari Raya Paskah dan Masa Puasa 40 Hari. Perlu kita ketahui memang awal masa Prapaskah itu dimulai pada hari Rabu disebabkan oleh penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggunya. Perhitungan ini agaknya dimulai sejak sekitar abad ke-8 sebagaimana tertuang dalam edisi awal Sacramentarium Gregorianum. Masa Puasa kita ini diterapkan selama 6 hari dalam seminggu, dengan tidak menghitung hari Minggu. Ini karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus. Sehingga, masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, maka genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. Cara menghitungnya adalah dimulai dari Paskah yang terjadi pada hari Minggu, lalu dikurangi 36 hari (6 minggu), kemudian dikurangi lagi 4 hari, sekarang kita hitung mundur, dan kita temukan hari Rabu. Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.


Selain Dies Cinerum, adakah istilah lain yang digunakan Gereja dalam Masa Prapaskah?

Jawabannya, ada. Hari minggu pertama persis sesudah Rabu Abu, atau Dies Cinerum, kita selalu merayakan Minggu Prapaskah I, dan berturut-turut setiap minggunya, Minggu Prapaskah II, Minggu Prapaskah III, Minggu Prapaskah IV, dan Minggu Prapaskah V. Ternyata, dalam tradisi Gereja, setiap hari Minggu Prapaskah memiliki sebutannya masing-masing yang menunjukkan misteri yang hendak dirayakan pada hari itu, khususnya dari Injil, maupun diambil dari antifon pembuka pada hari itu. Berikut uraiannya masing-masing.


(1) Dominica Invocavit

Kita lebih mengenalnya dengan Minggu Prapaskah I. Disebut sebagai "Dominica Invocavit" atau "Dominica Invocabit" karena diambil dari beberapa kata pertama (incipit) dari antifon pembuka (Introit) untuk Misa hari itu bahasa Latin yang diambil dari Mazmur 90:15-16, yakni:



atau dalam Bahasa Indonesia:

"Bila ia berseru kepada-Ku, Aku akan menjawab, Aku akan menyertai dia dalam kesesakan, Aku akan meluputkannya dan memuliakannya. Dengan panjang umur akan Kukenyangkan dia, dan akan Kuperlihatkan kepadanya keselamatan dari pada-Ku."

Minggu ini juga disebut sebagai "Quadragesima". Istilah Quadragesima berasal dari kata Latin untuk "empat puluh", karena ada tepat empat puluh hari dari Minggu Quadragesima sampai Jumat Agung. 


(2) Dominica Reminiscere

Seminggu setelah Dominica Invocavit, kita merayakan Dominica Reminiscere atau yang lebih kita kenal dengan Minggu Prapaskah II. Frasa "Dominica Reminiscere" digunakan karena mengacu pada kata pertama dari Mazmur 25:6, yakni: 



atau dalam Bahasa Indonesia:

"Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala. Ya, semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu; yang mendapat malu ialah mereka yang berbuat khianat. Ya Allah, bebaskanlah orang Israel dari segala kesesakannya! Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku; Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu; janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku."

Hanya saja jika melihat introit untuk Minggu Prapaskah II pada tahun ini, menggunakan rumusan dari Mazmur 27:8-9:



(3) Dominica Oculi

Senada dengan Dominica Invocavit dan Dominica Reminiscere, Minggu Prapaskah III disebut sebagai Dominica Oculi yang juga mengacu pada kata pertama dari antifon pembuka (Introit) untuk Misa hari itu bahasa Latin yang diambil dari Mazmur 25:15-16, yakni:



atau dalam Bahasa Indonesia:

"Mataku tetap terarah kepada TUHAN, sebab Ia mengeluarkan kakiku dari jaring. Berpalinglah kepadaku dan kasihanilah aku, sebab aku sebatang kara dan tertindas."


(4) Dominica Laetare

Minggu Laetare, yang adalah Minggu Prapaskah IV mungkin sudah lebih akrab dengan kita. Sesuai namanya, Minggu Laetare juga diambil dari kata pertama dari antifon pembuka pada Misa hari itu yang diambil dari Yesaya 66:10-11, yakni:



atau dalam Bahasa Indonesianya:

"Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya! supaya kamu mengisap dan menjadi kenyang dari susu yang menyegarkan kamu, supaya kamu menghirup dan menikmati dari dadanya yang bernas.

Ulasan tentang Minggu Laetare telah diuraikan pada tulisan: "Minggu Laetare: Minggu Sukacita di tengah Kekhawatiran" 


(5) Dominica Judica

Minggu terakhir sebelum memasuki Pekan Suci, yakni Minggu Prapaskah V disebut sebagai Dominica Judica. Selaras dengan minggu-minggu sebelumnya sebutan hari Minggu ini diambil dari kata pertama introit pada Misa hari itu yang diambil dari Mazmur 43:1-3, yakni:



atau dalam Bahasa Indonesia:

"Berilah keadilan kepadaku, ya Allah, dan perjuangkanlah perkaraku terhadap kaum yang tidak saleh! Luputkanlah aku dari orang penipu dan orang curang! Sebab Engkaulah Allah tempat pengungsianku. Mengapa Engkau membuang aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh? Suruhlah terang-Mu dan kesetiaan-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu!"





Nah, demikianlah Sobat Peziarah beberapa istilah yang menarik untuk kita dalami lebih jauh terkait dengan Masa Prapaskah. Semoga hal-hal ini dapat semakin memperteguh niat kita untuk memperbaharui diri dalam ziarah retret agung kita bersama dengan Gereja pada tahun ini.



(wlt)

Comments

Popular posts from this blog

Misteri 153 Ikan dalam Penampakan Yesus

Ternyata Ini Lho 7 Hal di Balik Hari Komunikasi Sedunia oleh Gereja!

Mengenal Pesta Stigmata St. Fransiskus Asisi yang Dirayakan Hari Ini